Flamboyan dan Benang Rahasia

Matahari pagi itu menyapa lembut melalui celah jendela rumah kayu tua di tepi jalan kecil yang dipenuhi pohon flamboyan. Aroma wangi teh melati mengepul dari cangkir tanah liat di meja, sementara seorang gadis muda tengah merapikan rambutnya yang dihiasi bunga ungu mungil. Namanya Jasmin, seorang penenun kain tradisional yang terkenal dengan motif-motifnya yang unik, sering kali membuat orang terkagum-kagum sambil menggaruk kepala karena tak mengerti bagaimana ia bisa menghasilkan pola serumit itu.

Jasmin dikenal sebagai pribadi tenang, meskipun diam-diam ia memiliki selera humor yang membuat tetangganya sering kali terkekeh. Pernah suatu kali, ketika seorang pemuda datang untuk memesan kain, ia sengaja berkata dengan wajah serius, "Kalau kainnya jadi terlalu bagus, jangan salahkan saya kalau nanti jadi rebutan." Pemuda itu bingung apakah harus tertawa atau mengangguk sungguh-sungguh, sehingga akhirnya hanya menunduk sambil salah tingkah.

Hari itu, Jasmin menatap keluar jendela. Ada sesuatu yang berbeda. Seekor burung kecil berwarna biru hinggap di pagar bambu, seolah-olah ingin menyampaikan pesan rahasia. Jasmin mengerutkan kening. "Hm, burung ini sepertinya terlalu santai. Jangan-jangan dia sedang menunggu giliran pesan kain juga," gumamnya pelan sambil tersenyum.

Namun, di balik senyum dan candaannya, ada rasa penasaran yang terus menggelitik hatinya. Sepekan terakhir, ia merasa ada tatapan asing yang mengamati dari kejauhan. Bukan tatapan mengganggu, melainkan tatapan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali ia mencoba memastikan, yang terlihat hanya bayangan samar di balik pepohonan flamboyan.

Jasmin menyesap tehnya sekali lagi. "Ah, mungkin aku terlalu banyak membaca cerita rakyat malam-malam," katanya pada diri sendiri. Tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu sesuatu akan segera terjadi—sesuatu yang mampu mengubah tenunan hidupnya, sama sekali di luar pola yang pernah ia buat.

---ooOoo---

Keesokan paginya, Jasmin kembali duduk di dekat jendela, kali ini dengan sehelai kain setengah jadi di pangkuannya. Jarum dan benang menari di tangannya dengan cekatan, seakan ia memiliki kesabaran seekor kura-kura sekaligus ketelitian seekor semut. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya tenang. Ingatannya masih tertuju pada bayangan samar yang semalam sempat bergerak di balik pepohonan flamboyan.

"Kalau bayangan itu ternyata hanya kambing tetangga yang tersesat, sungguh aku akan merasa malu sendiri," gumamnya sambil tersenyum miring. Ia bahkan sempat membayangkan seekor kambing berkeliaran sambil memakai selendang hasil tenunannya—bayangan itu membuatnya hampir tertawa terbahak jika saja benang tidak tersangkut.

Menjelang siang, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah jalan. Jasmin menahan napas, mencoba mendengarkan. Tidak lama kemudian, muncul seorang pemuda membawa sekeranjang bambu berisi buah mangga. Wajahnya teduh, dengan senyum yang seolah terlalu ramah untuk dianggap kebetulan.

"Selamat siang," sapa pemuda itu sambil mengangkat keranjang. "Saya baru saja memetik mangga, dan… sepertinya terlalu banyak untuk saya habiskan sendiri."

Jasmin mengerling penuh curiga, tetapi bibirnya terangkat dalam senyum tipis. "Apakah ini cara halus untuk menyuap penenun agar kainnya cepat selesai?" tanyanya sambil menahan tawa.

Pemuda itu terkekeh gugup. "Tidak, tentu saja tidak. Tapi kalau memang berhasil, ya saya anggap itu bonus," jawabnya, membuat Jasmin akhirnya tak kuasa menahan tawa kecil.

Namun di balik canda ringan itu, mata Jasmin kembali menangkap sesuatu. Di balik batang flamboyan, bayangan lain tampak bergerak, seakan sedang mengamati. Kali ini bukan kambing, dan bukan pula ilusi.

Hati Jasmin berdebar. Ada yang tidak biasa dengan semua ini, dan ia mulai yakin bahwa benang-benang kehidupannya sedang ditarik ke arah yang belum pernah ia bayangkan.

---ooOoo---

Sore itu, langit berubah jingga, seolah sedang menyiapkan panggung untuk sesuatu yang tak terduga. Jasmin duduk di beranda, mencoba menikmati semilir angin sambil mengupas buah mangga yang tadi diberi pemuda asing itu. Namun, pikirannya tidak lepas dari bayangan di balik flamboyan. Ada rasa penasaran yang makin sulit diabaikan.

Saat ia hendak menaruh kulit mangga ke dalam wadah bambu, pandangannya terhenti pada selembar kertas kecil yang terselip di bawah pintu rumahnya. Hatinya berdegup. "Apa ini ulah angin, atau angin yang sedang bercanda?" gumamnya sambil meraih kertas itu.

Tulisan tangan di atas kertas tampak rapi, namun jelas bukan milik siapa pun yang ia kenal.

"Jika ingin tahu siapa yang memperhatikanmu, datanglah besok pagi di bawah flamboyan terbesar. Jangan khawatir, tidak ada niat buruk. Hanya ingin bicara."

Jasmin mengernyitkan dahi. Ia ingin tertawa, tetapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat daripada candanya. "Besok pagi? Wah, kalau ternyata hanya seseorang yang ingin menjual minyak gosok, sungguh ini drama yang sia-sia," ujarnya sambil menepuk dahinya sendiri.

Malam itu, ia gelisah. Bahkan kain tenun yang biasanya jadi pelariannya pun tak mampu menenangkan pikirannya. Berkali-kali ia menatap kertas itu, mencoba menebak siapa pengirimnya. Apakah pemuda bermangga tadi? Atau bayangan misterius di balik flamboyan? Atau… mungkinkah ada orang lain yang diam-diam mengenalnya lebih dalam daripada yang ia kira?

Jasmin akhirnya menaruh kertas itu di samping cangkir tehnya. "Baiklah, besok aku akan datang. Tapi kalau yang menunggu ternyata kambing tetangga, aku akan resmi jadi bahan cerita satu kampung," bisiknya sambil terkekeh kecil.

Namun jauh di dalam hati, ia merasa besok adalah awal dari sesuatu yang tak biasa—sebuah rahasia yang siap terungkap, setenun demi setenun.

---ooOoo---

Pagi itu, Jasmin berangkat lebih awal dari biasanya. Ia membawa sehelai selendang putih sederhana, seolah kain itu mampu memberinya keberanian. Langkahnya pelan, tapi jantungnya berdegup seperti genderang kecil yang dimainkan anak-anak saat pesta panen.

Pohon flamboyan terbesar berdiri gagah di ujung jalan, ranting-rantingnya menjuntai dengan bunga merah menyala. Jasmin berhenti sejenak, menatap ke sekeliling. Sunyi. Hanya suara burung-burung kecil yang berceloteh seolah sedang menggosip.

Tiba-tiba, dari balik batang flamboyan, muncullah sosok pemuda yang kemarin membawa mangga. Senyumnya sama ramahnya, tetapi kali ini ada sesuatu di matanya—ketegasan bercampur keraguan.

"Jadi… Anda yang menaruh surat itu?" tanya Jasmin dengan nada setengah ingin tahu, setengah ingin menertawakan dirinya sendiri.

Pemuda itu mengangguk. "Saya ingin bicara, tapi… tidak mudah menjelaskannya." Ia menghela napas. "Nama saya Ardan. Sudah lama saya memperhatikan karya-karya tenunanmu. Ada sesuatu yang membuat saya yakin, pola-pola itu bukan sekadar hiasan. Ada pesan di dalamnya, bukan begitu?"

Jasmin terbelalak, lalu tertawa kecil. "Pesan? Wah, kalau ada pesan, mungkin itu pesan titipan ayam goreng atau utang kain yang belum dibayar. Saya tidak menenun rahasia."

Namun Ardan menatapnya serius. "Justru itu. Saya yakin tanpa sadar, benang yang kau pilih selalu mengikuti sesuatu yang lebih besar. Seperti… tanda. Dan saya sedang mencarinya."

Jasmin terdiam, antara bingung dan geli. "Kalau kau sedang mencari tanda, jangan-jangan yang sebenarnya kau butuhkan papan penunjuk jalan, bukan kain tenun."

Meski mencoba berkelakar, rasa penasaran dalam dirinya mulai tumbuh. Bagaimana mungkin seseorang melihat sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak sadari?

Di bawah flamboyan itu, percakapan mereka baru saja dimulai. Namun Jasmin merasa hidupnya sebentar lagi akan ditarik ke dalam pola yang jauh lebih rumit dari sekadar helai benang dan warna.

---ooOoo---

Jasmin terdiam, mencoba mencerna ucapan Ardan yang terdengar seperti teka-teki. "Pesan dalam tenunan? Jangan bercanda. Kalau ada pesan, mungkin isinya: ‘Jasmin sedang lapar, tolong bawakan cemilan,’" katanya sambil terkekeh, berusaha meredakan ketegangan.

Namun Ardan tetap serius. "Aku sungguh tidak main-main. Pola tenunanmu mirip dengan simbol-simbol yang pernah kulihat di naskah tua. Ada kaitan antara motif kainmu dengan sesuatu yang lebih besar. Entah kenapa, benang-benangmu seolah tahu jalan yang bahkan kita sendiri tidak pahami."

Jasmin menatap kain selendang putih di tangannya. Hatinya bergetar, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan humor. "Jangan-jangan benangnya punya agenda rahasia ya? Setelah ditenun, malam-malam ia kabur rapat dengan benang lain," ujarnya, membuat Ardan tersenyum kecut.

Di tengah percakapan itu, angin bertiup lebih kencang, membuat bunga-bunga flamboyan beterbangan. Salah satunya jatuh tepat di atas selendang Jasmin, membentuk pola aneh yang mirip dengan garis tenunan di kainnya. Jasmin tertegun. Ia merasakan sesuatu yang aneh, seolah dunia sedang ikut menambahkan motif di atas karyanya.

"Lihatlah," bisik Ardan. "Bahkan alam pun seakan mengingatkan."

Jasmin menelan ludah. Untuk pertama kalinya, ia tidak bisa menutupi rasa penasarannya dengan tawa. Ada perasaan bahwa kehidupannya akan berubah, seperti benang yang ditarik paksa ke arah pola baru.

Ia menoleh ke arah Ardan. "Baiklah," katanya pelan. "Kalau memang ada sesuatu dalam tenunanku, aku ingin tahu. Tapi jangan salahkan aku kalau ternyata hanya pola bunga biasa."

Ardan mengangguk mantap. "Percayalah, ini lebih dari sekadar bunga."

Dan di bawah flamboyan itu, mereka berdua tahu: perjalanan baru telah dimulai. Sebuah perjalanan yang akan menyingkap rahasia yang tersembunyi di antara helai-helai benang kehidupan.

---oo(Selesai)oo---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja