Senyum Misteri Van Gembrang

Van Gembrang berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya setengah serius, setengah bingung. Kemejanya yang agak kusut membuatnya tampak seperti seseorang yang baru saja selesai menghadapi perdebatan panjang dengan setrika yang kalah telak. Ia menatap dinding tua di sampingnya seolah dinding itu menyimpan jawaban dari teka-teki besar yang menghantuinya sejak pagi: mengapa sandal sebelah kiri hilang begitu saja di depan pintu rumah?

Orang-orang yang lewat hanya menoleh sekilas. Ada yang berbisik, "Itu si Van lagi mikir berat, pasti soal hidup," padahal kenyataannya ia sedang membandingkan, apakah lebih hemat membeli kopi sachet isi dua puluh atau menabung untuk beli mesin kopi yang katanya bisa membuat hidup lebih elegan.

Namun, di balik tatapan tenang itu, Van Gembrang tahu, hari itu tidak akan biasa. Ada sesuatu menunggunya di tikungan gang—sesuatu yang akan mengubah cara ia memandang dunia.

---ooOoo---

Ketika Van Gembrang melangkah ke tikungan gang, matanya tertumbuk pada sebuah amplop cokelat yang tergeletak manis di atas batu bata. Anehnya, amplop itu tampak bersih, seperti baru saja disetrika oleh tukang laundry yang perfeksionis.

Ia menunduk, mengambilnya, lalu menggoyang-goyangkannya pelan. Tidak ada bunyi koin, tidak ada ketukan keras, hanya rasa penasaran yang menempel lebih erat daripada permen karet di sandal baru. Di bagian depan tertulis namanya dengan huruf besar-besar: "UNTUK VAN GEMBRANG".

"Waduh," gumamnya. "Seumur hidup, baru kali ini dapat surat tanpa perlu bayar ongkos kirim."

Dengan hati-hati, ia membuka lipatan amplop. Di dalamnya hanya ada secarik kertas putih dengan satu kalimat sederhana:

"Datanglah ke taman jam tujuh malam. Jangan lupa bawa sesuatu yang bisa membuat orang tersenyum."

Van Gembrang mengernyit. "Sesuatu yang bisa bikin orang senyum? Masa harus bawa kaset dangdut lama?"

Ia pun tergelak sendiri.

---ooOoo---

Seharian Van Gembrang memikirkan isi surat itu. Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu kecilnya, sambil menatap rak penuh barang-barang aneh yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun. Ada kelereng berkilau, sendok yang bengkok entah kenapa, hingga topi jerami dengan lubang sebesar piring kecil.

"Yang mana ya, yang bisa bikin orang senyum?" gumamnya.

Ia mencoba tersenyum di depan cermin sambil mengenakan topi jerami bolong. Hasilnya, ia sendiri malah tertawa karena wajahnya mirip sate telur puyuh yang gosong di satu sisi.

Tetangganya sempat melongok lewat jendela dan berkata, "Van, jangan-jangan kamu mau ikut audisi lawak keliling?"

Van hanya mengibaskan tangan. "Ini serius, bro. Ada misi."

Akhirnya, ia memilih benda sederhana: sebuah ukulele tua dengan tiga senar yang masih utuh. Menurutnya, musik selalu punya cara untuk membuat siapa pun tersenyum.

Dan malam itu, perjalanan menuju taman pun dimulai.

---ooOoo---

Tepat pukul tujuh malam, Van Gembrang tiba di taman kecil di ujung kota. Lampu jalan berkelip-kelip, seperti bohlam yang sedang bimbang antara pensiun atau tetap bekerja. Suasana tenang, hanya suara jangkrik yang rajin memberi backsound gratis.

Ia duduk di bangku kayu sambil memeluk ukulele tuanya. Sambil menunggu, ia iseng memetik senar seadanya. Nada yang keluar terdengar seperti perpaduan lagu cinta dan suara pintu berkarat.

Tak lama kemudian, seorang anak kecil menghampiri. "Om, itu suara apa? Lucu, kayak kucing bersin."

Van tersenyum kecut. "Ini musik tingkat tinggi, Nak. Belum tentu semua orang paham."

Anak itu malah tertawa terpingkal-pingkal, lalu berlari pergi sambil berseru, "Om kocak!"

Van geleng-geleng kepala. "Nah, setidaknya ada satu orang yang sudah tersenyum."

Namun, sebelum ia sempat merasa puas, sebuah suara asing terdengar dari balik pepohonan:

"Van Gembrang… kau datang juga."

---ooOoo---

Dari balik pepohonan, muncul seorang pria dengan jas lusuh yang ukurannya kebesaran, seperti warisan dari paman jauh. Wajahnya samar tertutup cahaya lampu taman yang redup. Van Gembrang spontan merapatkan genggaman pada ukulele tuanya, seolah benda itu bisa berubah jadi pedang samurai kapan saja.

Pria itu tersenyum tipis. "Santai saja, Van. Aku tidak berniat macam-macam."

Van mendengus. "Kalau begitu, kenapa munculnya pakai gaya sinetron jam sepuluh malam?"

Pria itu tertawa pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau berani datang. Surat itu… memang untukmu."

"Lalu maksudnya apa, suruh bikin orang tersenyum segala?" tanya Van, masih curiga.

Pria itu mendekat satu langkah. "Itu ujian pertama. Ada sesuatu yang lebih besar menunggu."

Van mengangkat alis. "Ujian? Saya kira ini cuma undangan arisan misterius."

Hening sejenak. Lalu pria itu berkata lirih, "Ikuti aku, dan kau akan tahu segalanya."

---ooOoo---

Van Gembrang sempat ragu. Mengikuti orang asing di malam hari bukanlah hobi sehat. Namun, rasa penasarannya sudah lebih besar daripada rasa takut kehilangan sandal lagi. Ia menghela napas panjang, lalu berdiri dengan ukulele tersampir di bahu.

Mereka berjalan melewati jalan setapak yang remang. Di kejauhan, cahaya lampion-lampion kecil menggantung di antara pepohonan, seolah ada festival rahasia yang hanya bisa dilihat orang-orang terpilih.

"Van," kata pria itu tiba-tiba, "kau dipilih karena caramu sederhana membuat orang tersenyum. Dunia ini terlalu sering lupa tertawa."

Van menggaruk kepala. "Kalau begitu, saya ini semacam… juru tawa cadangan?"

Pria itu terkekeh. "Anggap saja begitu. Tapi jangan kaget, setelah ini hidupmu tidak akan sama lagi."

Van Gembrang menelan ludah. Ia melangkah masuk ke cahaya lampion, sambil bergumam lirih, "Ya ampun, semoga tidak ada lomba karaoke di dalam sana."

Perjalanan barunya pun dimulai.

---ooOoo---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja