Cerpen: Makanan yang Datang dari Mimpi

Cerpen :

“Setiap mimpi membawa pesan tersembunyi, dan kadang-kadang, mimpi itu datang dalam bentuk makanan yang penuh makna. Temukan kisah yang menyentuh hati dan penuh kejutan dalam cerpen ‘Makanan yang Datang Dari Mimpi’.”


Langkah demi langkah, Darma menyusuri lorong pasar yang mulai lengang, sampai akhirnya ia melihat sosok yang selama ini hanya terdengar lewat cerita—seorang lelaki tua dengan tumpukan umbi jalar merah di depannya, dan setumpuk buku lusuh di sisi lainnya. Ia duduk bersila di atas tikar pandan, membalik halaman buku dengan gerak bibir yang tenang, seolah tengah melafal doa yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Semua bermula sepulang kerja dari bengkel kecilnya di sudut kota Garut. Baru saja ia menggantung helm, telepon dari Nira—sepupunya—masuk.

“Itu permintaan Lestari. Dia ngidam. Tapi bukan sembarang umbi,” suara Nira mendesak dari seberang. “Harus umbi jalar merah yang ada bercak biru tua di dalamnya.”

“Di mana aku bisa cari yang begituan?”

“Ya cari aja! Jangan tanya aku! Ini buat istrimu, lho—yang lagi bawa anakmu!”

Usia pernikahan mereka bahkan belum setahun. Darma, 24 tahun, menikahi Lestari yang baru saja lulus kuliah. Pernikahan cepat, sederhana, hasil dari keputusan keluarga dan bisik-bisik tetua kampung. Nira, yang sudah menjanda lima tahun, membantu menjaga Lestari selama kehamilan. Meski sering ribut, cuma Nira yang Darma percaya untuk meredam naik-turunnya emosi Lestari.

Tak jauh dari bengkel, Darma melangkah ke Pasar Pahing—pasar tua yang masih bertahan di antara menjamurnya minimarket. Bau rempah, keringat, dan plastik menyatu dalam udara yang tebal. Pedagang berseru, anak-anak berlarian dengan kantong kresek, ibu-ibu sibuk tawar-menawar.

Darma bertanya pada lelaki tua berkopiah lusuh yang tengah memilih tomat.

“Umbi jalar bercak biru?” Lelaki itu menyipitkan mata. “Kalau ada, paling si Pak Gandung yang jual. Dia duduk di tengah pasar. Suka baca buku aneh. Katanya dulu dosen sastra.”

“Dosen sastra jualan umbi?”

“Kalau gak percaya, cari aja sendiri.”

Darma melangkah melewati penjaja kerupuk, pembungkus ketupat, hingga masuk ke lorong paling dalam. Di sanalah ia melihat lelaki itu: tua, rambut memutih, duduk di antara umbi jalar dan buku-buku berbahasa asing. Tanpa menoleh, lelaki itu berkata,

“Jangan buru-buru. Kalau kau datang tergesa, kau tak akan menemukannya.”

Darma menahan langkah. “Saya harus bagaimana?”

“Tunggu saja. Aku sedang mencarikannya.”

Ia pun duduk di lantai semen yang dingin. “Bapak baca apa?” tanyanya, mencoba memecah keheningan.

Pak Gandung mendongak perlahan. “Aku punya buku bagus untukmu.” Ia mengangkat buku usang bertuliskan La vida breve. “Belajarlah dari Brausen. Dia tahu kapan dunia sedang menyamar menjadi dirinya sendiri.”

Darma mengernyit. “Maksudnya?”

Pak Gandung tak menjawab. Ia membuka kotak kecil di belakangnya dan mengeluarkan satu umbi jalar merah. Tampak biasa.

“Ini yang kau cari. Tapi ingat, sebelum buku ini kau tuntaskan, umbi ini takkan menjadi seperti yang diinginkan istrimu.”

“‘Menjadi’?”

Pak Gandung hanya tersenyum kecil. “Satu-satunya cara memahami hal aneh adalah dengan mempercayainya.”

Dengan sekantong umbi dan buku asing di tangan, Darma meninggalkan pasar. Di dalam angkot, ia menatap sampul buku itu. Novel terakhir yang pernah ia baca? Mungkin waktu kelas lima SD. Itu pun cuma separuh. Tapi demi Lestari dan anak yang dikandungnya, ia berjanji akan menyelesaikannya—walau harus dicicil tiap malam.

*****

Di rumah, Lestari membentak Nira, “Aku nggak mau umbi sembarangan! Aku mau umbi dari ayah anakku!”

Nira menghela napas panjang. Ia menahan diri agar tak terpancing. Malam itu juga, ia diam-diam mengirim pesan ke Ginan—lelaki yang dulu hampir menikahi Lestari. Hubungan mereka kandas, tak kuat menanggung beban adat dan mas kawin yang tak sanggup dibayar. Ayah Ginan—penjual umbi keliling—pernah bilang, “Cinta itu bukan untuk dijual, apalagi disewa.”

*****

Dalam perjalanan pulang, Darma kembali menatap buku itu. Tak paham siapa Brausen. Tak mengerti makna “dunia menyamar menjadi dirinya sendiri.” Tapi di antara huruf-huruf asing yang asing itu, ada sesuatu yang membuatnya bertahan. Ia tahu satu hal: negara mungkin bisa menaikkan pajak, tapi cinta—betapapun anehnya—selalu punya jalannya sendiri untuk dimengerti.

Malam itu, seusai makan, Darma duduk di ujung ranjang. Buku terbuka di pangkuannya. Lestari tertidur gelisah, keringat mengilap di pelipisnya meski angin gunung berembus lewat jendela.

Kata demi kata terasa seperti jurus silat yang tak pernah ia pelajari. Ia baca satu paragraf lima kali dan tetap tak mengerti siapa tokoh-tokoh itu. Tapi ia tahu: buku ini harus selesai.

Setiap malam, ia membaca. Satu halaman. Dua halaman. Kadang cuma satu kalimat yang ia renungi berjam-jam. Dan perlahan-lahan, ada yang berubah.

Umbi itu, yang disimpan dalam lemari dapur, mulai menunjukkan bercak kebiruan. Awalnya cuma sebesar titik. Lalu meluas, seperti urat menyala samar di balik kulitnya.

Lestari yang tengah duduk di kursi malas tiba-tiba berdiri. “Dar… itu dia!” serunya. Napasnya terkejut. Tangannya gemetar menyentuh kulit umbi itu. “Ini persis seperti yang kulihat di mimpi.”

“Mimpi?”

“Sudah lama. Bahkan sebelum tahu aku hamil. Aku mimpi ayah memberiku umbi ini, lalu dia menghilang.”

Ayah Lestari sudah wafat dua tahun lalu. Ia tak pernah menceritakan mimpi itu kepada siapa pun.

Hari itu juga, Lestari mengukus umbi itu dan memakannya perlahan. Matanya basah. “Ini rasa masa kecil. Rasa tanah habis dibajak. Rasa yang kukira sudah punah.”

Darma hanya duduk. Diam. Ia belum mengerti segalanya, tapi kini ia tahu: beberapa hal hanya bisa dijangkau oleh kesetiaan—bukan logika.

*****

Di pasar yang sama, Pak Gandung masih duduk bersila. Buku barunya Kitab Orang-Orang Asing. Ia tersenyum saat seorang pemuda menghampiri, gelisah, dan bertanya, “Mbah, ada tempe yang rasanya kayak matahari tenggelam?”

Pak Gandung menunjuk tumpukan buku. “Kalau kau bisa selesaikan ini, mungkin kau bisa mengecap rasa yang tak bisa disebutkan lidah.”

Pasar tetap hidup. Doa-doa tetap dilantunkan tanpa suara. Cinta bersilangan jalan dengan absurditas. Dan umbi jalar… kadang menjadi wahyu kecil, bagi mereka yang sabar membaca dunia.

*****

Buku La vida breve akhirnya rampung dibaca Darma, dengan banyak catatan di tepi halaman: pertanyaan, tebak-tebakan makna, dan sesekali satu kata: nggak paham.

Tapi sejak itu, sesuatu berubah. Di bengkelnya, ia jadi lebih sabar. Saat mengencangkan mur atau mengganti kampas rem, pikirannya sering melayang ke Brausen—tokoh asing yang kini terasa seperti saudara jauh.

Lestari juga berubah. Ia sering duduk di halaman, bicara pelan pada janin dalam perutnya. “Ayahmu bawakan umbi dari dunia lain,” katanya. “Kau harus tumbuh dengan imajinasi, Nak. Bukan cuma nasi dan susu formula.”

Suatu sore, Darma kembali ke pasar Pahing. Ia tak tahu kenapa. Hanya merasa harus ke sana. Di lorong itu, di tikar pandan yang sama, Pak Gandung masih duduk. Tapi kali ini hanya buku, tanpa umbi.

“Aku selesai baca bukunya,” ujar Darma.

Pak Gandung mengangguk. “Apa yang kau temukan?”

Darma berpikir lama. Lalu berkata pelan, “Kadang yang kita cari bukan benda. Tapi cara untuk menerima kenyataan.”

Pak Gandung tersenyum. “Itu cukup. Kau boleh pilih satu buku lagi. Gratis. Tapi kali ini, tak perlu kau bawa pulang apa-apa… kecuali pikiranmu sendiri.”

Darma memilih buku tipis berjudul Serat Lalana Ing Ngayun. Ia tak tahu artinya. Tapi kali ini, ia tak bertanya. Ia pulang sambil membawa buku itu dekat ke dada, seperti rahasia.

*****

Di rumah, Lestari menyambutnya dengan secangkir air jahe dan senyum yang tak lagi kaku. Di balik senyum itu, perutnya makin membulat.

“Ada sesuatu lagi?” tanyanya.

“Mungkin cuma dongeng,” kata Darma. “Tapi aku ingin membacanya.”

Lestari menggenggam tangan suaminya. “Kalau dunia ini bisa berubah lewat cerita, aku ingin anak kita tumbuh di antara cerita-cerita itu.”

Malam itu mereka membaca bersama. Darma mengeja pelan, Lestari mendengarkan sambil mengelus perutnya. Dan dari jendela, angin gunung membawa harum tanah basah—seperti salam dari masa lalu yang belum sepenuhnya pergi.

Sementara itu, di pasar Pahing, Pak Gandung menggulung tikar lebih awal. Ia menatap langit senja dan berbisik, “Satu lagi sudah mengerti. Dunia ini belum benar-benar hilang.”


Sinopsis

Dalam cerpen ini, seorang tokoh mengalami serangkaian mimpi aneh yang membawa ia pada penemuan sebuah makanan misterius. Makanan tersebut bukan hanya sekadar hidangan, melainkan simbol dari perjalanan batin dan pencarian makna hidup. Cerpen ini mengajak pembaca untuk merenung, menggali arti di balik setiap mimpi, dan menyelami kedalaman emosi yang tersembunyi di balik sebuah pengalaman sederhana.


Kesimpulan

Cerpen ‘Makanan yang Datang Dari Mimpi’ mengajak pembaca untuk melihat kehidupan dengan perspektif yang berbeda, di mana setiap mimpi adalah bagian dari perjalanan batin yang lebih dalam. Cerpen ini memberikan pesan bahwa dalam setiap peristiwa, sekecil apapun, selalu ada makna yang lebih besar yang bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup.


© 2025 Cerpen Diono Pieter Rianto.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja