Meja Makan yang Tidak Pernah Sepi

Setiap sore, ruang makan di rumah keluarga kecil itu selalu terdengar ramai, meskipun hanya diisi tiga orang: seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak laki-laki bernama Paradiso yang duduk paling gelisah. Di atas meja, makanan rumahan sederhana tersaji rapi: sup sayur, telur dadar, sambal yang katanya “tidak terlalu pedas,” namun entah bagaimana selalu membuat mata Paradiso berair seperti baru selesai menonton drama sedih.

Ayahnya, seorang pria berkacamata yang tenang, selalu memulai makan dengan mengatakan, “Makan pelan-pelan, nanti perut kaget.” Tapi anehnya, beliau sendiri makan paling cepat. Ibu hanya tersenyum sambil mengingatkan, “Itu kalimat untuk diri sendiri, sepertinya.

Paradiso tertawa kecil, meski sebenarnya ia masih mencoba menenangkan lidahnya dari sambal yang katanya “ramah anak.” Baginya, waktu makan malam bukan sekadar saat mengisi perut, melainkan saat paling hangat dalam sehari. Televisi di belakang mereka menyala pelan, menampilkan acara yang tidak benar-benar ditonton siapa pun, tetapi tetap dinyalakan karena entah kenapa tampak lebih lengkap begitu.

Malam itu, sebelum suapan terakhir masuk ke mulutnya, Paradiso tiba-tiba berkata, “Aku punya pertanyaan… tapi jangan kaget.

Ayah dan ibu spontan saling pandang. Pertanyaan itu mengambang di udara, menunggu bab selanjutnya untuk terjawab.

---ooOoo---

Ayah memegang sendoknya lebih pelan, sementara ibu perlahan meletakkan gelas berisi air hangat. Suasana yang tadinya penuh tawa berubah sedikit hening, seolah seluruh benda di ruangan ikut menunggu apa yang akan dikatakan Paradiso.

Paradiso menegakkan punggungnya, padahal sebelumnya ia duduk sedikit membungkuk seperti udang rebus. Dengan nada serius, ia berkata, “Kenapa setiap kali aku bilang ‘tidak lapar,’ justru ibu tambah banyak mengambilkan nasi?

Ibu terdiam dua detik, lalu tertawa pelan. “Itu… refleks.” Ayah pun ikut terkekeh sambil berkata, “Kamu tidak mengerti, Nak. Itu aturan tidak tertulis orang tua sejak zaman dulu.

Ayah juga begitu?” tanya Paradiso, menyipitkan mata penuh kecurigaan. Ayah mengangguk mantap. “Ya. Dulu kakekmu kalau bertanya, ‘Sudah kenyang?’ kalau aku jawab ‘sudah’, beliau menambah lauk ikan. Sampai sekarang aku tidak paham logikanya.

Ibu menambahkan, “Kalau anak bilang tidak lapar, artinya ibu belum menang.” Paradiso menatap sambalnya seolah itu penyebab semua perdebatan ini. Namun senyumnya muncul kembali. Suasana hangat perlahan pulih.

Setelah jeda singkat, Paradiso kembali bicara dengan nada pelan namun jelas, “Sebenarnya… aku punya satu pertanyaan lagi.” Ayah dan ibu spontan menatapnya, kali ini lebih penasaran—dan sedikit waspada. Pertanyaan kedua itu belum terucap… dan sengaja ia tahan.

---ooOoo---

Ayah berdeham pelan, sementara ibu menatap Paradiso seperti detektif yang mencoba membaca pikiran seseorang. Televisi di sudut ruangan bahkan terdengar lebih jelas daripada detak jam dinding. Paradiso menikmati perhatian itu, meski wajahnya tetap dibuat serius.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku ingin sesuatu… tapi aku tidak tahu kalian siap atau belum.

Ayah tiba-tiba merapatkan kacamatanya, seolah berita besar akan diumumkan. Ibu mencondongkan tubuh sedikit ke depan, namun tetap dengan sikap tenang. “Katakan saja.” ucapnya.

Paradiso menatap piringnya terlebih dahulu, lalu berkata dengan nada pelan, hampir dramatis, “Aku ingin… kucing.

Ayah langsung menyandarkan tubuh sambil menghela napas lega. “Astaga, kukira kamu ingin pindah ke planet lain.” Ibu tersenyum tipis. “Kucing, ya? Kamu yakin? Kamu bahkan takut sama ayam tetangga kemarin.

Itu karena ayamnya merasa aku roti,” jawab Paradiso cepat. Ayah tertawa sampai bahunya ikut berguncang. Bahkan sendok di tangannya hampir jatuh. Ibu masih berpikir sejenak, kemudian bertanya, “Kenapa tiba-tiba ingin kucing?

Paradiso menatap ibu dan ayah bergantian, kemudian menjawab dengan nada sangat yakin, “Karna… sepertinya aku butuh teman untuk berdiskusi.” Ayah dan ibu terdiam lagi. Namun kali ini, diamnya berbeda—lebih seperti awal sesuatu.

---ooOoo---

Ayah menyandarkan tubuhnya lebih rapat ke sandaran kursi dan menatap langit-langit seperti sedang menimbang keputusan hidup paling penting. Ibu, sebaliknya, mulai merapikan piring sambil menghela napas kecil. Sementara Paradiso duduk tegak penuh harapan, seperti peserta lomba yang menunggu hasil pengumuman juara.

Ayah,” kata Paradiso sambil mengangkat satu alis, “kucing itu pintar. Dia bisa jadi teman, dan aku bisa belajar bertanggung jawab.

Ayah mengangguk perlahan. “Alasan yang bagus… tapi apakah kamu yakin kamu siap membersihkan kandangnya?” Paradiso menelan ludah. “Itu… bisa dipikirkan.

Ibu ikut duduk kembali. “Bagaimana dengan bulunya? Jangan sampai kamu malah bersin terus.” Paradiso cepat menjawab, “Tenang, Bu. Kalau perlu aku latihan bernapas.” Ayah tertawa kecil. “Napas bukan masalah di sini.

Paradiso tidak menyerah. Ia menunjuk televisi yang menyala tanpa ada yang menonton. “Lihat? Bahkan TV saja kesepian. Bayangkan kalau ada kucing. TV mungkin lebih semangat.” Ayah dan ibu saling pandang. Ada senyum kecil di bibir mereka, seolah mulai memahami keinginan Paradiso bukan sekadar permintaan spontan.

Ibu akhirnya berkata lembut, “Baiklah… kita pikirkan.” Paradiso menahan diri agar tidak melompat kegirangan. Namun ia sudah yakin—itu bukan penolakan. Itu pintu pertama yang mulai terbuka.

---ooOoo---

Sejak malam itu, Paradiso menjadi jauh lebih rajin dari biasanya. Ia bangun lebih cepat, membereskan tempat tidur tanpa diperintah, bahkan menyapu halaman sampai seekor burung lewat pun mungkin bertanya-tanya apakah rumah itu sedang menyambut tamu kehormatan.

Ayah memperhatikan tingkah Paradiso sambil menyeruput teh. “Sepertinya ini efek samping dari kata ‘dipikirkan’,” gumamnya pelan. Ibu hanya tersenyum sambil melipat kain meja. “Kita lihat apakah semangatnya masih sama satu minggu lagi.

Namun Paradiso punya strategi. Ia menyiapkan daftar alasan tambahan yang ditulis rapi di buku tulis: 1. Kucing membuat suasana rumah lebih ceria. 2. Kucing bisa jadi teman belajar (meski ia tidak yakin soal ini). 3. Kucing bisa jadi alarm jika ada camilan terbuka.

Poin terakhir ia tulis setelah mengingat roti kesukaannya pernah hilang dan ia dituduh memakan sendiri. Padahal ia yakin roti itu punya kaki dan kabur. Hari demi hari, ia menunggu keputusan. Kadang ia mencuri pandang ke ayah atau ibu dengan tatapan penuh makna, seperti pemain sinetron yang ingin menyampaikan pesan tanpa kata-kata.

Suatu sore, ketika mereka kembali makan bersama, ayah akhirnya berkata, “Kami sudah memutuskan.” Paradiso berhenti mengunyah. Ibu melanjutkan dengan suara lembut, “Besok kita pergi melihat-lihat.” Matanya membesar. Pipinya yang penuh nasi hampir ikut tersenyum. Besok akan menjadi hari penting.

---ooOoo---

Keesokan paginya, Paradiso bangun lebih cepat dari alarm. Ia memakai sepatu seperti hendak berangkat lomba lari tingkat dunia, padahal tujuan utamanya hanya satu: mencari kucing. Ayah dan ibu bahkan belum selesai meminum teh ketika Paradiso sudah berdiri di depan pintu sambil berkata, “Siap berangkat!

Perjalanan mereka tidak lama. Mereka mendatangi sebuah tempat yang merawat hewan terlantar. Di sana, banyak kucing dengan warna dan ukuran berbeda menatap mereka, sebagian santai, sebagian penasaran, sebagian lagi terlihat seperti baru bangun dari tidur lima jam padahal baru lima menit.

Paradiso mengamati satu per satu. Ada kucing putih bermata biru, ada yang belang oranye, ada pula yang tampak kalem seperti penyair. Namun tidak ada satu pun yang membuatnya merasa cocok.

Hingga akhirnya, seekor kucing hitam kecil dengan satu bulu putih di dada datang mendekat. Ia duduk di depan sepatu Paradiso dan menatapnya lama, seperti sedang menilai apakah manusia kecil di depannya layak dijadikan sahabat.

Paradiso jongkok perlahan. “Hei… kamu pilih aku?” Kucing itu menjawab dengan mengeong pelan—atau mungkin hanya sedang protes karena ingin camilan, tidak ada yang tahu. Ayah tersenyum. Ibu ikut mengangguk.

Paradiso mengusap kepala kucing itu untuk pertama kalinya. Dan di saat itu, tanpa perlu kata-kata panjang, ia tahu: Temannya bukan dicari. Temannya datang sendiri.

---Tamat---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja