Suara Mesin Jahit di Sore Hari

Suara krek-krek-krek dari mesin jahit tua terdengar seperti irama masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang. Kadang-kadang seperti irama musik "The Healer"-nya Diono Pieter Rianto. Di atas meja kayu yang sudah agak kusam, jarum berkilat menembus kain putih, seolah sedang menulis cerita baru di atas lembar kosong. Perempuan itu, dengan rambut yang jatuh sebahu dan senyum yang tenang, menatap hasil jahitannya seperti menatap rahasia kecil yang sedang ia rajut dengan benang kesabaran.

Di sampingnya, seorang anak perempuan kecil duduk manis di kursi rendah. Matanya berbinar setiap kali jarum bergerak.

"Ibu, kenapa jarumnya tidak capek, ya?" tanyanya polos.

Sang ibu tertawa kecil. "Karena jarumnya tidak punya kaki. Kalau punya, mungkin sudah minta sepatu."

Anak itu tertawa terpingkal-pingkal, sampai air matanya hampir keluar. "Kalau punya kaki, jarumnya bisa jalan ke warung, Bu!"

"Bisa, tapi nanti malah beli kue, bukan jahit baju," sahut ibunya sambil menahan tawa.

Di luar jendela, angin sore meniup lembut tirai yang sudah mulai pudar warnanya. Dari kejauhan, suara burung gereja terdengar riuh seperti sedang bergosip tentang betapa rapi hasil jahitan hari itu.

Sementara itu, ibu dan anak itu terus larut dalam dunia kecil mereka—dunia yang berputar di sekitar kain, benang, dan tawa yang sederhana.

Namun sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Ibu itu tiba-tiba berhenti menjahit. Tangannya terdiam di atas kain, wajahnya berubah sedikit cemas. Anak kecil itu memperhatikan, tapi belum berani bertanya.

Ada rahasia kecil di balik sehelai kain putih itu—sesuatu yang belum waktunya terungkap.

---ooOoo---

Jarum itu masih terhenti di udara, seolah sedang menunggu keputusan besar. Kain putih di bawahnya tampak biasa saja, tetapi di mata sang ibu, kain itu seperti sedang berbisik. Ada sesuatu yang ingin dikatakan—sesuatu yang membuat hatinya bergetar tanpa tahu sebab pasti.

Anak kecil itu memiringkan kepala, mencoba menebak perasaan ibunya.

"Ibu kenapa berhenti?" tanyanya pelan.

Sang ibu tersenyum tipis. "Hmm… sepertinya mesin jahitnya butuh istirahat. Sama seperti kita kalau kebanyakan makan kue, nanti ngantuk."

Anak itu cekikikan. "Tapi Bu, mesin jahit nggak bisa makan kue."

"Siapa bilang? Mesin ini paling suka kue, cuma makannya lewat listrik," jawab sang ibu sambil menepuk ringan badan mesin jahit.

Tawa kecil kembali mengisi ruangan, tapi kali ini terasa lebih pendek, seolah digigit diam. Di luar, langit mulai berubah warna, dari biru lembut menjadi jingga yang perlahan menua. Burung-burung sudah pulang ke dahan, sementara suara panci dari dapur rumah sebelah menandakan waktu makan malam hampir tiba.

Sang ibu menatap hasil jahitannya. Ada pola bunga kecil di ujung kain itu—pola yang entah kenapa terasa akrab. Seperti sesuatu yang pernah ia buat dulu, tapi sudah lama sekali. Tangannya gemetar sedikit. Ia menghela napas panjang, lalu melipat kain itu dengan hati-hati, seolah sedang menutup kenangan.

"Bu, itu kain buat siapa?" tanya anak kecil itu lagi, penasaran.

Pertanyaan itu membuat sang ibu diam sejenak. Lalu ia menjawab pelan, dengan suara yang nyaris seperti bisikan,

"Untuk seseorang yang pernah janji pulang… tapi belum sempat."

Anak kecil itu tidak mengerti sepenuhnya. Tapi ia tahu, kali ini senyum ibunya berbeda—ada sesuatu di baliknya.

Dan entah mengapa, ia merasa kain putih itu belum selesai bercerita.

---ooOoo---

Malam turun perlahan, menutup jendela dengan cahaya temaram. Di atas meja, mesin jahit tua itu diam, seperti makhluk yang kelelahan setelah seharian bekerja keras. Sementara sang ibu menyiapkan teh hangat, anak kecil itu masih duduk di kursinya, menatap kain putih yang kini dilipat rapi.

"Ibu, orang yang janji pulang itu siapa?" tanyanya polos, tanpa curiga bahwa pertanyaan kecil bisa seberat itu.

Sang ibu tertegun. Tangannya berhenti di udara, sendok kecil di genggamannya nyaris jatuh ke lantai. Ia tersenyum—tapi senyum itu seperti kain yang dijahit terlalu cepat, sedikit miring, sedikit menahan sesuatu yang ingin lepas.

"Dulu," katanya perlahan, "ada seseorang yang sangat suka melihat ibu menjahit. Katanya, suara mesin ini bikin hatinya tenang."

Anak itu menatap ibunya dengan mata bulat. "Sekarang dia di mana, Bu?"

Sang ibu menatap keluar jendela. Hening beberapa detik. "Mungkin… masih mencari jalan pulang."

Anak kecil itu diam. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi dalam kepalanya, ia membayangkan seseorang yang tersesat di jalan penuh benang, berusaha menemukan ujung yang mengarah ke rumah.

Tiba-tiba ia tertawa kecil. "Kalau dia tersesat, kasih aja peta, Bu!"

Sang ibu ikut tertawa. "Iya, Nak. Tapi dulu peta masih mahal, belum dijual di warung."

Suasana hangat kembali mengisi ruangan. Teh di cangkir mengepulkan aroma melati, menambah damai malam itu. Namun di sela tawa, sang ibu sempat melirik kain putih itu lagi. Ujung benangnya terlepas dari jarum, melingkar tak beraturan—seperti benang janji yang tak pernah sempat disimpulkan.

Ia berbisik pelan, hanya untuk dirinya sendiri,

"Besok… mungkin aku akan menyelesaikannya."

---ooOoo---

Pagi berikutnya datang dengan cahaya yang lembut, menembus tirai tipis seperti tangan halus yang menyentuh wajah. Di meja yang sama, mesin jahit tua sudah menunggu, seolah tak sabar melanjutkan pekerjaan yang semalam tertunda. Sang ibu menuang air hangat ke dalam gelas, lalu duduk, menatap kain putih itu dengan pandangan penuh keraguan.

Anak kecilnya sudah bersiap hendak berangkat ke sekolah. "Ibu, nanti lanjut jahit lagi, ya? Biar bajunya cepat jadi."

Sang ibu tersenyum. "Iya, tapi kalau ibu terlalu lama, tolong ingatkan. Kadang ibu lupa waktu kalau sudah bicara sama mesin ini."

Anak itu tertawa geli. "Ibu memang aneh. Mesin kan nggak bisa ngomong."

Sang ibu menjawab, "Siapa bilang? Kalau jarumnya macet, itu tandanya dia lagi ngambek."

"Tapi Bu," kata anak itu sambil menggandeng tasnya, "kalau dia ngambek, kasih aja permen."

Sang ibu tertawa sampai matanya berair. "Ide bagus! Mungkin nanti ibu taruh satu di dekat pedalnya."

Setelah anaknya pergi, suasana rumah kembali hening. Hanya suara burung dan sesekali angin yang berbisik dari jendela. Ia mulai menjahit lagi, perlahan, hati-hati, seolah setiap tusukan jarum harus disetujui dulu oleh kenangan.

Namun tiba-tiba, suara krek kecil terdengar. Mesin itu berhenti. Jarum macet. Benangnya kusut di bawah kain. Sang ibu terdiam, wajahnya pucat sesaat. Ia membetulkan posisi jarum, tapi jari-jarinya gemetar.

Dan di tengah keheningan itu, dari dalam laci meja, ia melihat sesuatu—selembar foto kecil yang terselip di antara gulungan benang.

Foto seseorang… tersenyum, mengenakan kemeja lusuh, berdiri di samping mesin jahit yang sama.

Tangannya berhenti lagi. Nafasnya menurun perlahan.

"Ah…" gumamnya lirih, "rupanya kau masih di sini."

Ia tersenyum, kali ini tanpa air mata—tapi senyum itu seperti benang yang mulai menemukan ujungnya kembali.

---ooOoo---

Sore menjelang, membawa warna jingga yang lembut ke dalam ruangan. Di atas meja, foto kecil itu kini berdiri di samping mesin jahit, disangga oleh cangkir kosong. Sang ibu duduk dengan tenang, menatap kain putih yang kini hampir selesai dijahit. Suara mesin kembali terdengar, ritmis dan pelan, seperti lagu lama yang akhirnya menemukan nadanya kembali.

"Sudah lama sekali aku tidak menjahit dengan hati," bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.

Jarum menari di atas kain, membentuk garis halus yang menyatu di setiap ujungnya. Di luar, suara anak-anak bermain menggema dari kejauhan. Tapi di dalam rumah itu, hanya ada ia dan kenangan yang perlahan berubah dari beban menjadi teman lama yang datang menepuk bahu.

Tiba-tiba terdengar langkah kecil. Anak perempuannya pulang, wajahnya sedikit berdebu tapi penuh semangat.

"Ibu! Aku dapat nilai bagus hari ini!" serunya sambil berlari mendekat.

Sang ibu tersenyum lebar. "Hebat sekali! Sebagai hadiah, Ibu jahitkan sesuatu, ya?"

Anak itu terkejut senang. "Serius? Baju bonekaku rusak, Bu!"

"Pas sekali," jawab sang ibu sambil mengambil kain putih yang baru selesai dijahit. "Kain ini sisa dari sesuatu yang dulu belum sempat selesai. Tapi sekarang… sudah waktunya jadi sesuatu yang baru."

Anak itu memandangi ibunya, tak sepenuhnya paham. Tapi ia tahu, dari cara ibunya tersenyum, bahwa ada sesuatu yang telah berubah—sesuatu yang membuat udara sore itu terasa lebih ringan.

Ketika matahari turun dan bayangan memanjang di lantai, sang ibu menutup mesin jahit dengan kain pelindung. Ia menatap foto di sampingnya dan berkata lembut,

"Terima kasih sudah menunggu. Sekarang jahitannya selesai."

Anak kecil itu menatap ibunya, lalu foto itu.

"Bu, siapa yang di foto itu?" tanyanya lagi.

Sang ibu tersenyum, menatap jauh.

"Dia orang yang dulu mengajari Ibu… bahwa setiap benang kusut bisa diselesaikan, asal sabar dan tidak menyerah."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu terasa utuh—tanpa jahitan yang tertinggal.

— Tamat —
---ooOoo---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kain Batik dan Rahasia di Balik Pagar

Langkah-Langkah Lela

Cerpen : Sulam Emas Di Ladang Senja